Saat kau terjatuh dan
terasa sulit bagimu untuk berdiri
Saat kau tersesat dan
kau kehilangan arah
Saat kau menangis dan
tak ada seorang pun yang mengerti penderitaanmu
Saat kau berada dalam
masa terburukmu sekalipun
Dia yang masih ada di
sampingmu dan menopang tubuhmu pastilah
Orang yang menyayangimu
setulus hati
Mama selalu berkata, “penuhi impianmu
dan buatlah itu menjadi kenyataan” . maka dari itu aku jadi seorang pemimpi
yang keras hati seperti sekarang, tidak akan ada yang bisa membuatku berhenti
untuk meraihnya selagi bisa, meski itu aku tau akan melibatkan banyak orang
selain diriku sendiri.
Hari
itu aku pulang dengan bibir yang tertekuk, dengan kesal aku masuk ke rumah dan
duduk di dekat mama yang tengah bersantai sembari menonton televisi, bapak
seperti biasa asyik dengan kebiasaan jelek nya menghisap sebatang rokok merek
kesayangannya dan duduk bersender pada dinding kayu rumah kami.
Mama yang terheran-heran atas
kedatanganku yang tiba-tiba dan suara salam yang setengah hati lantas bertanya
“nah kok balek (balek = pulang),
katonyo mau tiduk rumah makwo.. “
“dak jadi… (tidak jadi)” jawabku
ketus
Bapak yang mendengar jawabanku
bukannya marah tapi malah tertawa kecil di sela-sela hembusan rokoknya, bapak
memang selalu begitu, jarang sekali kulihat dan kudengar bapak marah, dia
memang mungkin terbiasa hidup seperti itu sedari kecil, tidak memikul dendam
dan tidak pemarah. Bapak tidak akan marah untuk sesuatu yang sepele seperti ini
meskipun seharusnya aku tidak boleh seperti itu pada mereka, kadang bapak malah
menjadi terlalu lemah kepada anak-anaknya dibanding mama.
“ngapo lagi nak…?? (kenapa nak) “ Tanya
mama sekali lagi
Aku
sedari kecil, tidak pernah bisa berbohong kepada kedua orang ini. mungkin mudah
bagiku berbohong soal “aku lagi otewe nah ke sana” kepada teman-temanku
dibanding kepada mama dan bapak, untuk semua perbandingan yang ada, aku
benar-benar tidak bisa menyembunyikan apa yang aku rasakan dan aku sedang
laksanakan kepada mereka, aku sadar akan ada banyak hal buruk yang akan terjadi
jika aku berbohong, dan entah kenapa filosofi seperti itu terus saja kupegang
hingga sekarang
Lalu
aku menceritakan kejadian hari itu, semua secara detil tentang apa yang
mengganggu ku
Sebagai seseorang yang dibesarkan
dengan impian aku sungguh tidak terima jika impian ku itu dianggap rendah oleh
seseorang, diinjak-injak dan ditolak keberadaannya, apalagi jika yang melakukan
itu adalah orang yang terdekat di hidupku, orang yang kukenal sejak aku
terlahir didunia ini.
Aku nelangsa, fikiranku meradang
mengingat kembali di saat ketika mereka mengatakan secara terang-terangan bahwa
“tidak mungkin anak seorang tukang sapu smp mampu menamatkan pendidikan di
fakultas kedokteran, darimana biaya yang akan mereka gunakan untuk itu? Sementara
orang yang lebih dari mampu saja bahkan terbirit-birit menyekolahkan anaknya
disana”
Tidak sadarkah mereka aku ada di sana?
Tidak sadarkah mereka bahwa aku berada di tempat yang sama dimana mereka
menertawakan impianku? Apa mereka berfikir aku tidak punya pendengaran? Seakan sengaja
membiarkanku mendengarnya. Apakah mereka berfikir aku akan baik-baik saja dan bisa
duduk manis setelah mendengar ocehan mereka yang menyakiti hati itu?
Bahkan tampa dukungan moril
sedikitpun
Dan itu bukan hanya kali pertama aku
mendengar hal yang melukai impianku seperti itu, telingaku sudah penuh
menampungnya, salahkah aku jika aku menginginkan cita-cita itu? Sedang selama
tiga tahun ini mereka tidak tau bagaimana aku melewatinya. Bagaimana aku jatuh
dan berdiri untuk mengejar apa yang tertinggal, bagaimana aku membangun dasar
dari mimpiku. Salahkah aku yang seorang anak tukang sapu ini bermimpi menjadi
seorang dokter sedangkan mereka tidak tau apa yang terjadi selama 3 tahun
belakangan ini? kenapa mereka tidak mendukungku seperti ketika aku mendapatkan
kesempatan untuk pergi ke provinsi? Kenapa mereka terasa berlari menjauhiku? Kenapa
mereka seakan menghindar?
Suaraku
bergetar ketika aku menamatkan ceritaku, ruangan yang hening karna ditinggal
tiga prajurit ke tempat pembelajaran Qur’an membuat seisi ruangan dapat
mendengar apa yang kukatakan meski pelan sekalipun. Pada akhirnya aku hanya
meneteskan air mata lagi, kepedihan hatiku membuat ku tidak mampu menahan air
mata itu terlalu lama
Mama menghela navas pelan, sementara
bapak terlihat tidak lagi menghisap rokoknya, dia mematikan punting rokok itu
di asbak. Seperti mengerti penderitaanku, mama menarikku dan memelukku lembut
lalu mengusap rambutku, membiarkan aku menangis di peluknya.
Tidak
ada kepedihan yang lebih menyakitkan daripada mengetahui orang-orang terdekat
kita yang kita piker akan ada dan mendukung impian kita malah berbalik dan
berusaha mengubur impian yang kita bangun itu. Seakan tidak berhenti,
berkali-kali mereka datang kepada bapak dan membujuk bapak untuk berhenti mengikuti
impian konyol anaknya ini dengan alasan “takut dia berhenti di tengah jalan”
atau “demi kebaikan dia”.
Demi kebaikan siapa?? Itu jelas tidak
akan pernah baik untukku. Lalu apakah mereka mengetahui apa yang terjadi di
masa depan? Toh jikapun aku memilih untuk menjadi guru seperti yang mereka
inginkan mereka juga tidak akan ada untuk menopang aku secara financial, kemana
mereka selama ini? kenapa seperti tersentak dan memohon agar aku
mengurungkannya?
Aku ini bukanlah orang yang hidup di
dunia mimpi meski aku punya begitu banyak mimpi untuk diwujudkan, bukan orang
yang bermimpi terbang di langit lalu terbangun dan menyaksikan impian itu semu
selamanya, aku ini hidup di dunia nyata. Aku mengerti tanpa harus mereka
menjelaskan, tapi apa aku sebegitu rendahnya sampai mimpiku, cita-citaku
dianggap sampah oleh mereka?
“kamu tidak usah mendengarkan mereka,
mereka tidak tau apa yang kita lewati selama ini, mereka hanya bisa bicara
tampa melakukan apapun. Jika mereka berhenti maka kita tidak boleh berhenti,
cukup kita saja yang berusaha. Biar mereka jadi penonton…”
Sekali
lagi aku mendengar kalimat itu, kalimat yang selalu di ucapkannya ketika aku
merasa tidak ada seorangpun yang mampu menolongku dari pekatnya dunia, kalimat
yang sama dengan yang diucapkannya ketika aku bertengkar dengan temanku, ketika
semua tidak seperti yang aku harapkan
Kalimat itu akhir-akhir ini sering
terdengar sejak pengumuman kemarin, kalimat yang begitu kuat dan menghangatkan
hatiku yang dingin karna air mata. Kalimat yang meneguhkan keyakinanku bahwa
mimpi ini tidak boleh hanya sekedar menjadi mimpi saja
Sembari mengelus rambutku mama
berkata “apapun yang mereka katakan, apapun pendapat mereka, teruslah maju
kedepan dan raih cita-cita mu. Fokuslah kesana dan belajarlah dengan lebih baik
lagi, mama dan bapak akan mengusahakan kamu sekolah disana bagaimanapun
caranya, bukde mu kan juga masih ada nak, kita belum benar-benar sendirian. ayo
kita buktikan kalau kita juga bisa…. “
“aah sudahlah yuk,, “ bapak menimpali
“pokoknya ayuk sekolah disana, sekarang focus ke sekolah dan berhenti mendengar
sesuatu yang Cuma bisa bikin sakit hati, toh beasiswa juga banyak nak..
pokoknya bapak sama mama percaya kamu bisa…”
“nak, tidak ada yang sayang ke kamu
melebihi sayangnya orang tuamu ke kamu nak… jadi wajar kalau mereka tiba-tiba
berbalik seperti itu…” ujar mama lagi
Sejak
hari itu aku sepenuhnya menyadari bahwa mimpi ini adalah serius dan pasti tidak
akan mudah maka dari itu aku tidak bisa main-main lagi, orang tuaku telah
mempertaruhkan segalanya untuk ini maka aku tidak bisa berhenti lagi
Aku harus tetap melangkah maju
kedepan
Kejadian demi kejadian itu seperti
cobaan dan sentilan untuk membuka mataku tentang siapa-siapa yang menyayangi
sepenuh hati, bukan orang yang ada
dikala senang dan bertahta saja, menyadarkanku tentang siapa yang
sepatutnya kudengar dan yang tidak, semua hitam putih telah begitu jelas bagiku.
Aku bukan lagi anak bodoh yang akan menurut
hanya karna imbalan makan gratis saja, aku mengerti semuanya setelah ini
Komentar